Pertemuan saya dengan Pak Hamzah bermula saat saya “dipindahtugaskan” dari Divisi Production Engineering ke Divisi Quality Control. Sungguh kaku ketika sebelumnya saya bekerja bersama teman-teman sebaya untuk kemudian mempunyai partner kerja seorang Bapak berusia 50 tahunan. Apalagi ketika saya mengetahui jika Pak Hamzah ini berada di bawah “kelas karyawan” saya, alias beliau bisa dianggap sebagai “bawahan”. Bagaimana seseorang seperti saya yang baru masuk kerja beberapa bulan bisa menempati posisi di atas beliau dengan upah yg tentunya lebih tinggi? Bagaimana pengalaman seorang Pak Hamzah yang telah bekerja selama puluhan tahun tidak cukup dihargai agar bisa menjadi seorang “atasan”?
Hari-hari awal bekerja tentunya saya sangat bergantung pada Pak Hamzah. Bagaimana caranya mengidentifikasi kecacatan pada part mobil, membedakan warna yg nyaris terlihat sama, mendeteksi goresan yg sangat tipis pada body, membandingkan celah antar part mobil yang hanya berlebar sekian milimeter saja, sampai memutuskan sesuatu bersama supplier jika sebuah part yang dikirimkannya itu OK atau NG (Not Good). Semua jenis pekerjaan ini tentunya baru bagi saya, yang tentunya juga tidak diajarkan di kuliah ataupun di training/pelatihan saat masuk kerja. Semuanya harus saya pelajari di lapangan dari orang-orang yang memang punya pengalaman akan hal itu. Jika saat itu tidak ada Pak Hamzah di samping saya, maka saya hanyalah seorang sarjana yang tidak mampu berbuat sesuatu ataupun memutuskan sesuatu. Mungkin saya menjadi seseorang yg makan gaji buta dan jadi bahan cercaan karyawan lain. Dan lagi-lagi saya menanyakan hal yang sama, bagaimana seseorang yg berpengalaman yg bisa mengajarkan saya banyak hal tidak mendapatkan apresiasi yang sesuai dari perusahaan tempatnya bekerja?
Dengan bekal pertanyaan itu, saya mencoba menggali siapa sebenarnya Pak Hamzah ini, dan apakah banyak Pak Hamzah-Pak Hamzah lain yang bernasib sama. Pak Hamzah yang saya kenal adalah seorang Bapak lulusan sekolah menengah yang berasal dari kawasan Jakarta Utara. Beliau banyak bercerita mengenai kondisi daerah bernama Tanjung Priok dimana kehidupan disana sangatlah keras. Lulusan sekolah yang berasal darisana akan sulit mendapat pekerjaan dikarenakan kondisi lingkungan yang dikenal buruk. Alias mereka sudah di-blacklist. Pak Hamzah pun bercerita jika mayoritas warga pendatanglah yang mempunyai perangai buruk yang akhirnya mempengaruhi kondisi sosial budaya disana. Warga asli sana yang sebetulnya “innocent” jadi ikut kena getahnya. Beliau mencontohkan begitu tak berpendidikannya mayoritas warga pendatang yang berasal dari kawasan pedesaan. Mereka berlaku seenaknya, tak beretika, dan membawa budaya asal kampungnya. Arus urbanisasi yang padat mengakibatkan mereka harus berjibaku mencari sesuap nasi dengan warga pribumi. Siapa yg kuat akan bertahan dan siapa yg lemah akan tersingkir. Disini Pak Hamzah jadi mempunyai pemikiran jika sesungguhnya warga pedesaanlah yang harus dididik dan diberdayakan sehingga ia tak butuh pindah ke perkotaan untuk mencari kerja. Mereka seharusnya bisa mempunyai penghidupan yang layak di desa mereka sendiri. Sebagus apapun wilayah perkotaan berkembang, maka kesenjangan dan konflik sosial tidak akan bisa dihilangkan selama arus urbanisasi warga pedesaan tak terdidik ini terus membanjiri perkotaan.
Di sisi lain, Pak Hamzah pun bercerita tentang seseorang yg luar biasa yg mempunyai banyak usaha di kawasan Tanjung Priok. Orang ini lulus SD pun tidak, kakinya lumpuh, dan tak bisa baca tulis. Akan tetapi, usahanya meliputi rumah makan, transportasi angkutan umum, hingga minimarket. Hidupnya sangat berkecukupan dan dia menggunakan nama “Doa Ibu” sebagai nama usahanya. Modal utamanya adalah kerja keras, kejujuran, dan sikap tawakal. Ia tak takut dicurangi oleh karyawannya sendiri ketika menerima laporan keuangan karena memang dia tak bisa baca tulis. Ia menyerahkan kepercayaan sepenuhnya, yang penting dia menerima keuntungan yang bisa ia syukuri. “Rezeki sudah ada Yang Mengatur”, itulah prinsipnya. Kisah nyata ini berulang kali Pak Hamzah ceritakan, seolah-olah ingin menampar saya yang berstatus sarjana ini. “Sadar woy sadar… Lu tuh sarjana… Dia aja yang ga lulus SD bisa nyediain kerjaan buat banyak orang… Lah Elu bisanya cuma morotin upah perusahaan tempat Lu kerja…” Mungkin itu pesan implisit yang terkandung dari kisah itu. Pak Hamzah beranggapan jika seorang sarjana seharusnya tidak bekerja, justru ia yang harus menciptakan lapangan kerja. Yg gak sarjana aja banyak yang nganggur, lah ini yg sarjana ikutan berebut kursi kerjaan. “Biarkanlah lulusan madrasah yang bekerja di pabrik, kerjaan kayak begini mah mereka juga bisa”, hal itu juga yang sering Pak Hamzah katakan. Tamparan di wajah itu dilanjutkan dengan tusukan tajam di hati. Jleb.
Oleh karena kami berdua adalah partner kerja di bagian eksterior, hampir di setiap pekerjaan saya selalu bersama beliau. Bukan saja karena saya membutuhkan bantuannya, tetapi juga karena asiknya saya mengobrol dengan beliau mengenai banyak hal di luar urusan pekerjaan. Sungguh banyak pelajaran dan makna kehidupan yang beliau ajarkan. Dan ini saya anggap lebih penting dari pelajaran mengenai bagaimana suatu pekerjaan Quality Control bisa selesai dengan baik. Di saat senggang ataupun saat mengidentifikasi masalah, kami sering berlama-lama untuk sekedar ngobrol ngalor ngidul. Tujuan saya untuk mengetahui pribadi Pak Hamzah jadi lebih mengasikkan. Ada beberapa hal di luar jalan kehidupannya yang membuat saya tertarik untuk mengetahuinya lebih lanjut. It’s a life philosophy, wisdom, and it’s magic…