Titik-Titik Puzzle (2)

Ada pendapat yg mengatakan jika karakter dan kepribadian itu sebagian besar dibentuk oleh lingkungan. Karakter dan kepribadian utama seseorang pun katanya terbentuk saat ia telah genap berusia 12 tahun. Itu berarti pola pengasuhan orang tua dan pola pendidikan + pergaulan saat TK hingga SMP memiliki kontribusi terbesar dalam hal ini. Mungkin bisa dikatakan jika saat itu ‘fase gunung es’ telah terlewati dimana seseorang secara “tidak sadar” telah terbentuk dan terwarnai oleh lingkungan sekitarnya. Sehingga ia akan sulit mengubah kepribadian dan karakternya, kecuali dengan kesadaran penuh. Dikenal sebuah metode “memutus rantai gajah”, yaitu melakukan suatu tindakan perubahan yg berbeda dari kebiasaan sebelumnya yg konsisten dilakukan selama 90 hari.

Selepas masa SMP, seseorang yg melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA tentunya akan merasakan gejolak pubertas, pergaulan remaja, dan fase menemukan jati diri. Seseorang mulai bisa dengan sadar memilih sesuatu untuk dirinya, baik ataupun buruk, sesuai kepribadian yg telah terbentuk sebelumnya. Ingatan dan kenangan pada masa SMA pun semakin kuat terekam, seolah2 itu baru saja terjadi. Kepribadian yg telah terbentuk dihadapkan pada peristiwa dan kejadian yg mungkin saja mengubahnya 180 derajat atau malah menguatkannya. Ini gabungan antara pilihan, arahan, tujuan, lingkungan, dan takdir yg telah ditentukan oleh-Nya.

Berkaca pada pengalaman pribadi saat SMA, kepribadian saya yg cenderung pendiam dan melankolis-perfeksionis terus terbawa dari masa SD dan SMP. Praktis kelas 1 SMA saya lalui bersama 4 sahabat dekat, yaitu Ferry Anindito, Fadhil Ghalib Agam, Suryo Prasetyo, dan Muhammad Malik Idris. Ini jadi gank saat istirahat, tugas kelompok, grup drama, bermain PES, hingga bermain poker. Ferry yg sama-sama pendiam dan melankolis mengajak saya untuk ikut bergabung di Hikmatul Iman. Disini saya jadi tau seputar tenaga dalam dan tentang kampus bernama ITB dan mesjid bernama Salman. Karena memang salah satu proses latihannya dilakukan disana. Setelah bergabung selama 6 bulan, saya kapok ikut latihan karena rasa linu setelah sparing dan bengkak setelah mencoba mematahkan kikir. Fadhil dikenal sebagai ‘juragan’ sehingga kami sering bermain ke rumahnya untuk sekedar berkompetisi PES dan menghabiskan makanan. Disini saya baru tau jika bunga tabungan bank seorang karyawan senior di sebuah perusahaan minyak multinasional lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga. Suryo yg lebih supel dengan logat jawa yg kental bisa membuat gank ini lebih berwarna dan penuh canda tawa. Sedangkan Malik saat itu saya kenal sebagai seseorang yg tegas dan keras, bisa dianggap dia adalah ‘preman’ gank kami. Tetapi, sikapnya akan berubah banyak ketika berhadapan dengan murid perempuan, hehe…

Kelas 1 SMA yg saya kenal adalah masa-masanya bermain, dimana setiap orang memasuki masa ABG yg ceria dan menyenangkan. Dan ketika masuk kelas 2 SMA, yg saya tau (dan mungkin juga bagi sebagian besar murid di masa yg sama) adalah masa keakraban dan persahabatan. Pergaulan saya pun meluas hingga hapal setiap posisi murid laki-laki di setiap bangku sampai saat ini. Sayap kanan terdepan diisi oleh Sayyid Hakam Satrio dan Araf Pratamanaim. Jajaran di belakangnya diisi berturut-turut oleh Boma Ranggadjati-Ilmam Mukhlis, Krisha Adhya-Yogi Faldian, Iman Setyadi-Naufal Chairulfatah, Feiza Alfi-Raditya Hanung. Sedangkan sayap kiri diisi Achmad Faris Saffan-Eko Prasetyo, Reza Narindra-Saya, Markus-Muhammad Rizki, Evan Ardiansyah-Tedo Purnomo, Dadan Damayandri-Yusuf Nugraha. Banyak peristiwa menarik yg terjadi saat itu, mulai dari pola pergaulan, kisah persiapan drama kelas, cinlok-cinmon, kekompakan kelas, cerita tentang guru-guru, hingga perjalanan wisata ke Bali. Saya pribadi disini mendapatkan panggilan baru dengan nama gudjrin, sebuah momen yg membuat saya jadi lebih agamis, dan aktivasi email-sosial media sebagai tahapan untuk mulai ‘membuka diri’. Dan yg menjadi catatan tambahan adalah 90% lebih dari mereka lulus masuk fakultas-kampus bergengsi, seperti fakultas teknik-ITB ataupun ke fakultas kedokteran-psikologi.

Meski sempat diprotes oleh para murid, akhirnya susunan murid kelas 2 ini kembali dipecah sehingga kelas 3 diisi oleh susunan murid yg berbeda. Padahal harapannya adalah persahabatan yg telah terjalin bisa membantu proses belajar dan persiapan menghadapi UN-SPMB. Di kelas 3 ini saya berteman dekat dengan Rendi Oktavian, Alven Haeckal, Ardi Lazuardi, Indi Amrullah, dan Taufik Hidayat. Kepribadian yg menempel saat itu adalah hobi ngoprek-nya Alven dan hobi ngoding-nya Ardi. Ditambah sebangku dengan (Aa) Rendi, seorang ketua DKM mesjid sekolah, membuat saya jadi lebih religius, lebih sering ke mesjid, ikutan mentoring dan ta’lim, merutinkan doa setelah sholat dan tilawah. Bergaul dengan para remaja mesjid membuat saya semakin nyaman. Dari sini juga saya mendapatkan mentor seorang alumni ITB dan teman-teman seperjuangan bersama Reza Narindra, Muhammad Ferandy, Evan Ardiansyah, dan Bagus Dwiatmojo, dengan nama grup SPIRIT. Di dalam kelas bagian belakang terpampang sebuah board putih besar yg berisi nama-nama murid dan fakultas-kampus tujuannya masing-masing. Tekad telah ditetapkan dan saya pun mulai disiplin belajar, try-out, dan berdoa. Dalam sebuah perjalanan ke tempat try-out, tanpa sengaja saya tersasar melewati gerbang depan kampus ITB dan akhirnya mem-visualisasi-kan pikiran seolah-olah saya menjadi mahasiswa disana. Meski tanpa mengikuti bimbel, atas seijin Allah, akhirnya saya bisa mengenyam bangku kuliah di STEI ITB, sebuah chapter kehidupan baru yg ternyata lebih menarik lagi…

Titik-Titik Puzzle (1)

Sekelumit kisah perjalanan pastinya menceritakan tentang persilangan jalan, baik itu tentang pilihan hidup ataupun tentang orang-orang yg sempat bersimpangan dengan kita. Perjalanan hidup itu seperti tongkat estafet, setiap orang di dalamnya mengantarkan kita pada posisi sekarang ini. Perjalanan hidup itu seperti bermain puzzle, setiap orang di dalamnya mempunyai kepingan penting yg menggambarkan diri kita sekarang. Menjelang seperempat abad saya hidup di dunia ini, ijinkan saya untuk menulis rekam jejak perjalanan saya pribadi. Sekedar untuk mengenang, menguatkan langkah, mengevaluasi diri, dan mensyukuri semua nikmat dan petunjuk yg telah Allah berikan.

Sejak lahir hingga masa balita, tubuh saya sering didera penyakit, mulai tipes, cacar, hingga asma bronkhitis yg acapkali kambuh. Spontan Ibu saya yg over-protective melarang saya untuk bermain dan ‘liar’ di luar rumah. Saya menghabiskan waktu hampir sehari semalam di dalam rumah setiap hari. Mungkin bisa dihitung dengan jari, berapa kali kaki saya menginjak tanah tanpa menggunakan sendal/sepatu. Itu sebabnya sampai sekarang telapak kaki dan tangan saya begitu halus, minim ‘rorombeheun’ dan kulit yg mengeras, sedikit gesekan saja bisa membuat telapak kaki dan tangan saya terluka. Praktis saat itu saya hidup dengan imajinasi dan teman2 imajiner di dalam rumah. Ada seorang teman nyata bernama Opik, yang merupakan tetangga di depan rumah. Seringkali saya menengok-nengok ke luar rumah dari jendela untuk sekedar memergoki Opik yg sedang lewat di depan rumah untuk kemudian saya panggil agar masuk dan bermain Playstation bersama. Lucunya, terkadang saya hanya butuh dia sebagai teman nonton atau mengobrol saja, yg main yah hanya saya sendiri. Ketika keluarganya memutuskan untuk pindah rumah, barulah saya merasakan sakitnya kehilangan seorang teman.

Masa-masa di TK dilalui dengan datar, tidak ada teman yg begitu dekat. Hanya ada 2 kejadian yg membekas, yaitu saat bertengkar dengan seorang teman dan ‘berhasil’ membuatnya menangis, dan ketika acara ulang taun saya dirayakan di sekolah, yaitu saat Ibu saya memasak Mie Goreng buatannya untuk disantap bersama seisi kelas. Mungkin 2 kejadian saat itu membuat saya merasakan 2 hal yg bertolak-belakang, tidak enaknya membuat orang lain menangis dan bahagianya saat bisa diperhatikan dan bisa berbagi dengan orang lain. Kelulusan TK saat itu dirayakan dengan foto memakai baju toga, sebuah doa agar setiap murid bisa bersekolah tinggi dan lulus sebagai sarjana.

Saat memasuki masa SD, saya mulai terbuka pada jalinan pertemanan, meski masih menjadi seorang yg pendiam. Ada beberapa teman dekat saat itu, Taufik Hilmi, Daniel, Rendi Bramantoro, Sigit Ramadhan, dll. Masing-masing dari mereka punya ciri dan karakter yg unik. Taufik dikenal sebagai murid yg pintar dan mempunyai tulisan yg sangat rapi, dia menjadi teman sebangku dan teman saat istirahat, kini yg saya tau dia jago dalam hal programming. Daniel dikenal sebagai murid berpostur paling tinggi, dia menjadi teman sejalan-pulang sekolah dan bermain ‘tazos’. Momen yg saya kenang adalah ketika dia memberi uang seratus rupiah kepada saya untuk menambahkan uang seribu yg saya punyai untuk dibelikan pedang-pedangan, sebagai hadiah kepada saya saat berulang taun. Rendi dikenal sebagai murid yg supel (termasuk pada murid perempuan) dan doyan maen bola, dia terkadang menjadi teman sepulang sekolah di rumah, untuk bermain bola dan PS. Kini ia menjadi sarjana jurusan farmasi dan sedang merintis bisnisnya sendiri. Sedangkan Sigit dikenal sebagai pelukis ulung dan ketua kelas, dia menjadi ketua grup pramuka saya dan teman kompetisi ‘Winning Eleven’. Kini yg saya tau ia adalah sarjana lulusan seni dan desain. Keempat teman dekat tersebut dan beberapa teman lainnya memberikan warna yg bermacam-macam pada diri saya pribadi. Ada juga teman dari SD kelas lain bernama Hari Purnama, yg sebetulnya saya lupa sejak kapan kami bisa akrab. Ditambah seorang guru bernama Pak Asep Hendra, yg mengajarkan muridnya untuk bermimpi melanjutkan sekolah ke SMP Favorit, jadilah saya bersama 5 orang teman lainnya (termasuk Sigit) berhasil lolos seleksi masuk SMPN 5 Bandung, sekolah SMP Terfavorit di Bandung.

Belajar di sekolah favorit dan unggulan, yg notabene berisi murid-murid terbaik, membuat lingkungan pertemanan jadi semakin kondusif sekaligus kompetitif. Regulasi sekolah yg memecah muridnya setiap kenaikan kelas, membuat saya berkenalan dengan beberapa teman dekat yg berbeda di setiap tahunnya. Di kelas 1-B, saya berteman dekat dengan Muh. Ihsan, Muh. Anggita Tresnamayung, dan Fajar Ajie Setiawan. Ihsan sebagai teman sebangku sama2 mempunyai tulisan yg rapih dan sesekali menggoda untuk bermain ke rumah saya. Anggita yg menjadi kenalan pertama saya saat itu dikenal sebagai murid yg pintar dan beberapa kali juga menjadi teman sebangku. Ajie adalah teman yg memperkenalkan saya pada ekskul Rohani, ekskul DKM yg pertama kalinya mengajarkan saya tentang teknologi dan proses kaderisasi. Sebuah kebetulan juga ketika itu pembinanya adalah seorang mahasiswa Teknik Fisika ITB. Di kelas 2-C, saya berteman dekat dengan Muh. Oki Wasil, Ahmad Yusran Diafri, dan Eki Hikmah Febriansyah. Oki sebagai teman sebangku terkadang berselisih paham dengan saya, yg akhirnya bisa berujung debat kusir. Disitu saya mulai merasakan adanya konflik dan belajar untuk mempertahankan pendapat. Yusran dikenal sebagai ‘badut’ kelas alias orang yg sering menjadi bahan tertawaan karena ulahnya sendiri. Sedangkan saya hanya bisa ‘berulah’ saat ada drama di sekolah saja, di saat saya bisa mengekspresikan diri saya dengan bebas, di luar kepribadian saya yg asli. Eki saat itu saya kenal sebagai murid yg ‘cunihin’, cuek saat bergaul, dan terkadang melakukan hal-hal aneh saat jam pelajaran berlangsung.

Di kelas 3-G, saya kemudian berteman dekat dan berkelompok bersama Yusran, Agung Satriyadi Wibowo, Arri Raditya, Agil Gilang Pratama, dan Lestian Atmopawiro. Kelas 3-G ini dikenal sebagai kelas biang masalah karena ‘berhasil’ membuat 3 guru bahasa (Indonesia, Inggris, Sunda) menangis di kelas karena ulah murid-murid di dalamnya. Praktis kami sekelas harus bolak-balik meminta maaf ke ruang guru. Ada momen-momen dimana saya diejek karena ‘cameuh’ dan berjari manis pendek, mulai dari awalnya membuat saya kesal, marah, hingga akhirnya terbiasa dengan semua ejekan itu. Ada juga momen mengerjakan PR seminggu ke depan di kelas karena motivasi agar bisa bermain Playstation jenis Role Playing Games di rumah sepuasnya. Dan juga, momen dimana saya menjadi pembawa ‘virus’ permainan kartu Yu-Gi-Oh di kelas, meski dengan peraturan yg dibuat sendiri. Dengan semangat yg sama dalam lingkungan yg kondusif, akhirnya saya dan mayoritas teman di kelas berhasil lolos seleksi ke SMA paling bergengsi di Bandung, SMAN 3 Bandung.

Dalam rekam jejak sampai saat itu juga, (saat ini) saya sadar dan merasa jika Allah mempunyai rencana dan rancangan terhadap hidup setiap manusia, termasuk saya, untuk sebuah tujuan di masa depan. Allah menyisipkannya dalam alam bawah sadar kita dan mengabadikannya dalam bentuk kenangan dan kepribadian. Allah pertemukan kita dengan orang-orang yg dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk melalui mereka dan melalui setiap peristiwa yg terjadi. Inilah mengapa Allah itu sungguh dekat, Dia Maha Mengetahui apa yg terbaik bagi setiap makhluk-Nya. Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah apakah kita menyadari akan petunjuk-Nya tersebut dan apakah kita telah memilih jalan terbaik yg telah Ia tunjukkan. Wallahu Alam.