Pak Hamzah (2)

Dalam suatu kesempatan, saya kembali bertemu dengan Pak Hamzah setelah sekian lama. Beliau masih menjadi seseorang yg saya kenal dengan senyumnya dan nada dering HP miliknya yg berbunyi lagu Rhoma Irama “Trerereng rereng… Hai Manusia… Hormatilah Ibumu… Yang melahirkan dan membesarkanmu…”. Pengingat yg selalu terngiang saat saya masih bersama beliau dulu. Beliau pun masih selalu merendah dengan posisi pekerjaannya, padahal jika ia pensiun nanti, saya yakin perusahaan akan sulit mencari pengganti dari beliau. Ketajaman penglihatannya, pengalamannya mendeteksi problem, keramahannya dengan tim kerja dan supplier, hingga nasehatnya yg kerap ia sampaikan. Dalam tulisan kedua tentang Pak Hamzah ini, ijinkan saya melanjutkan kisah perjalanan beliau beserta pemikirannya.

Pak Hamzah dulunya adalah seseorang yg tegas dan disegani, bahkan oleh karyawan sekelas manager sekalipun. Beliau bekerja bertahun-tahun di Divisi Painting bagian Quality. Beliaulah yang memutuskan suatu warna oke atau tidak, sama atau beda, tebal atau tipis, dan sebagainya. Ternyata begitu banyak jenis kecacatan pada warna suatu mobil. Dengan ketajaman penglihatannya, beliau bisa tau jika warna putih itu terlalu kuning/biru, dengan melihat dari sudut pandang tertentu. Seriously, di mata saya (dan mayoritas karyawan) nampak tidak ada yg berbeda. Penglihatan Pak Hamzah setara dengan alat pengecek warna yg berharga ratusan juta sekalipun. Pernah ada suatu kasus dimana ada mobil ‘pesanan’ seorang Manager diperiksa di bagian Quality. Pak Hamzah menyatakan jika mobil tersebut NG atau tidak sesuai standar pabrik karena catnya terlalu tebal. Sang Manager memang secara personal memesan mobil itu untuk dirinya sendiri dengan ketebalan cat yang tidak biasa. Sementara karyawan lain membiarkan hal itu, Pak Hamzah bersikukuh tidak akan membiarkan mobil itu keluar bagian Painting sebelum catnya diperbaiki menjadi sesuai standar. Mulai dari karyawan kelas operator hingga Manager bergantian membujuk beliau agar mobil itu di-OK-kan saja. Pak Hamzah tak bergeming, standar kualitas harus ditegakkan pada setiap mobil, tak pandang bulu, meski itu pesanan atasan sekalipun. Karena beliau tau jika setiap pekerjaan yg ia lakukan harus dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat. Itulah prinsipnya. Meski begitu, mobil pesanan sang manager itu ternyata bisa diloloskan atas persetujuan orang lain selain Pak Hamzah. Dan akhirnya kita berlepas diri dari perbuatan orang lain…

Mungkin karena ketegasan sikapnya itulah, posisi dan level pekerjaan beliau sulit untuk naik. Beliau pun memang cukup kritis dengan kebijakan-kebijakan perusahaan yang terkadang ‘berat sebelah’. Sudah menjadi rahasia umum jika orang yang vokal bersuara tentang kesejahteraan dan upah buruh, akan dipandang sebelah mata oleh perusahaan, apalagi yg empunya adalah orang asing. Pada akhirnya, beliau menolak menjadi ‘singa perusahaan’ yang siap sedia bertindak tegas (cenderung galak/judes) ketika berhadapan dengan rekan setim ataupun supplier. Meski seorang Quality Control seperti ini disukai perusahaan, tetapi orang semacam ini tidak akan disukai oleh rekan sejawat. Pak Hamzah berprinsip ketika jabatan itu dilepas dari seseorang, maka ia tidak lebih dari seorang manusia biasa di mata masyarakat. Ini artinya meski jika ia mempunyai jabatan tinggi saat di kantor atau saat pensiun, maka tetaplah ia dikenal sebagai manusia dengan karakter dan sifat yg menempel pada dirinya saat berada di luar kantor ataupun saat kembali ke masyarakat. Simpelnya, jika di kantor mungkin ia tak bisa ditonjok karena jabatannya sebagai direktur, maka di luar kantor bisa saja ia malah ditendang karena sikap otoriternya yang menyebalkan.

Pak Hamzah juga sering membandingkan jaman sekarang dengan jaman presiden Pak Soeharto. Jika sekarang banyak beredar stiker “Piye kabare? Enak jamanku tho?”, maka Pak Hamzah adalah seseorang yg pro akan hal ini. Mungkin beliau setuju karena kondisi jaman Pak Harto memang terasa lebih damai dan lebih sejahtera, jika dibandingkan dengan jaman sekarang yang ramai konflik antarpartai dan kelompok masyarakat. Orang-orang berani saling sikut untuk memperoleh sesuap nasi. Para pejabat berani mengadu domba demi kepentingan politik diri dan partainya. Indonesia terasa semakin semrawut dari waktu ke waktu. Mungkin tidak ada yang perlu disalahkan dari perubahan jaman ini, kecuali diri kita sendiri. Apa yang telah kita lakukan? Apa kontribusi yang bisa kita berikan? Jika manusia-manusia di Indonesia ini merindukan jaman Pak Harto dulu, lantas apa yang menyebabkan mereka berpikiran seperti itu? Ini adalah refleksi yang mendalam bagi diri saya pribadi.

Satu hal lain yang menjadi perhatian dari Pak Hamzah adalah soal pertanian. Begitu banyak lahan pertanian yang beralih fungsi. Impor pangan semakin deras. Harganya pun semakin meninggi. Petani semakin melarat. Kesenjangan semakin mencuat. Hal ini juga yang sedang terjadi di Karawang. Pak Hamzah mempunyai 2 ide/mimpi tentang pertanian ini. Yang pertama adalah bagaimana caranya agar padi dapat tumbuh dimana saja laksana rumput yang bisa tumbuh dimana saja padahal kita tidak menanam bibit rumput disana. Yang kedua adalah membuat lahan pertanian bertingkat, yakni semacam gedung tinggi bertingkat yang berisi lahan pertanian di setiap tingkatnya. Pak Hamzah mencermati krisis lahan yang akan terjadi mengakibatkan krisis pangan yang semakin parah. Teknologi pertanian harus segera ditemukan agar manusia bisa tetap hidup memakan pangan dengan harga terjangkau. Sebesar apapun bisnis manufacturing ataupun IT merajalela, manusia tidak akan bisa hidup dengan memakan part-part mobil atau data-data informasi.

Yang Pak Hamzah takutkan di akhir adalah mengenai Post-Power Syndrome. Begitu banyak rekan kerjanya yang kemudian jatuh sakit bahkan sampai meninggal di sekitar masa usia pensiun. Pekerjaan dan beban tanggung jawab yang dirasakan saat bekerja tetiba hilang, dan akhirnya mempengaruhi kondisi mental dan kesehatan. Rasa kesepian, kebosanan, dan tidak mampu berbuat apa-apa datang menghinggapi orang-orang yang pensiun ini. Akan tetapi, saya berharap hal ini tidak akan terjadi pada Pak Hamzah. Pak Hamzah masih bisa berbuat banyak setelah pensiun nanti dengan menyebarkan pemikirannya dan beramal sebanyak-banyaknya kepada masyarakat sekitar. Saya yakin masih banyak orang di luar sana yang sepakat dengan Pak Hamzah, dan siap mengeksekusi hal-hal tersebut…

Pak Hamzah (1)

Pertemuan saya dengan Pak Hamzah bermula saat saya “dipindahtugaskan” dari Divisi Production Engineering ke Divisi Quality Control. Sungguh kaku ketika sebelumnya saya bekerja bersama teman-teman sebaya untuk kemudian mempunyai partner kerja seorang Bapak berusia 50 tahunan. Apalagi ketika saya mengetahui jika Pak Hamzah ini berada di bawah “kelas karyawan” saya, alias beliau bisa dianggap sebagai “bawahan”. Bagaimana seseorang seperti saya yang baru masuk kerja beberapa bulan bisa menempati posisi di atas beliau dengan upah yg tentunya lebih tinggi? Bagaimana pengalaman seorang Pak Hamzah yang telah bekerja selama puluhan tahun tidak cukup dihargai agar bisa menjadi seorang “atasan”?

Hari-hari awal bekerja tentunya saya sangat bergantung pada Pak Hamzah. Bagaimana caranya mengidentifikasi kecacatan pada part mobil, membedakan warna yg nyaris terlihat sama, mendeteksi goresan yg sangat tipis pada body, membandingkan celah antar part mobil yang hanya berlebar sekian milimeter saja, sampai memutuskan sesuatu bersama supplier jika sebuah part yang dikirimkannya itu OK atau NG (Not Good). Semua jenis pekerjaan ini tentunya baru bagi saya, yang tentunya juga tidak diajarkan di kuliah ataupun di training/pelatihan saat masuk kerja. Semuanya harus saya pelajari di lapangan dari orang-orang yang memang punya pengalaman akan hal itu. Jika saat itu tidak ada Pak Hamzah di samping saya, maka saya hanyalah seorang sarjana yang tidak mampu berbuat sesuatu ataupun memutuskan sesuatu. Mungkin saya menjadi seseorang yg makan gaji buta dan jadi bahan cercaan karyawan lain. Dan lagi-lagi saya menanyakan hal yang sama, bagaimana seseorang yg berpengalaman yg bisa mengajarkan saya banyak hal tidak mendapatkan apresiasi yang sesuai dari perusahaan tempatnya bekerja?

Dengan bekal pertanyaan itu, saya mencoba menggali siapa sebenarnya Pak Hamzah ini, dan apakah banyak Pak Hamzah-Pak Hamzah lain yang bernasib sama. Pak Hamzah yang saya kenal adalah seorang Bapak lulusan sekolah menengah yang berasal dari kawasan Jakarta Utara. Beliau banyak bercerita mengenai kondisi daerah bernama Tanjung Priok dimana kehidupan disana sangatlah keras. Lulusan sekolah yang berasal darisana akan sulit mendapat pekerjaan dikarenakan kondisi lingkungan yang dikenal buruk. Alias mereka sudah di-blacklist. Pak Hamzah pun bercerita jika mayoritas warga pendatanglah yang mempunyai perangai buruk yang akhirnya mempengaruhi kondisi sosial budaya disana. Warga asli sana yang sebetulnya “innocent” jadi ikut kena getahnya. Beliau mencontohkan begitu tak berpendidikannya mayoritas warga pendatang yang berasal dari kawasan pedesaan. Mereka berlaku seenaknya, tak beretika, dan membawa budaya asal kampungnya. Arus urbanisasi yang padat mengakibatkan mereka harus berjibaku mencari sesuap nasi dengan warga pribumi. Siapa yg kuat akan bertahan dan siapa yg lemah akan tersingkir. Disini Pak Hamzah jadi mempunyai pemikiran jika sesungguhnya warga pedesaanlah yang harus dididik dan diberdayakan sehingga ia tak butuh pindah ke perkotaan untuk mencari kerja. Mereka seharusnya bisa mempunyai penghidupan yang layak di desa mereka sendiri. Sebagus apapun wilayah perkotaan berkembang, maka kesenjangan dan konflik sosial tidak akan bisa dihilangkan selama arus urbanisasi warga pedesaan tak terdidik ini terus membanjiri perkotaan.

Di sisi lain, Pak Hamzah pun bercerita tentang seseorang yg luar biasa yg mempunyai banyak usaha di kawasan Tanjung Priok. Orang ini lulus SD pun tidak, kakinya lumpuh, dan tak bisa baca tulis. Akan tetapi, usahanya meliputi rumah makan, transportasi angkutan umum, hingga minimarket. Hidupnya sangat berkecukupan dan dia menggunakan nama “Doa Ibu” sebagai nama usahanya. Modal utamanya adalah kerja keras, kejujuran, dan sikap tawakal. Ia tak takut dicurangi oleh karyawannya sendiri ketika menerima laporan keuangan karena memang dia tak bisa baca tulis. Ia menyerahkan kepercayaan sepenuhnya, yang penting dia menerima keuntungan yang bisa ia syukuri. “Rezeki sudah ada Yang Mengatur”, itulah prinsipnya. Kisah nyata ini berulang kali Pak Hamzah ceritakan, seolah-olah ingin menampar saya yang berstatus sarjana ini. “Sadar woy sadar… Lu tuh sarjana… Dia aja yang ga lulus SD bisa nyediain kerjaan buat banyak orang… Lah Elu bisanya cuma morotin upah perusahaan tempat Lu kerja…” Mungkin itu pesan implisit yang terkandung dari kisah itu. Pak Hamzah beranggapan jika seorang sarjana seharusnya tidak bekerja, justru ia yang harus menciptakan lapangan kerja. Yg gak sarjana aja banyak yang nganggur, lah ini yg sarjana ikutan berebut kursi kerjaan. “Biarkanlah lulusan madrasah yang bekerja di pabrik, kerjaan kayak begini mah mereka juga bisa”, hal itu juga yang sering Pak Hamzah katakan. Tamparan di wajah itu dilanjutkan dengan tusukan tajam di hati. Jleb.

Oleh karena kami berdua adalah partner kerja di bagian eksterior, hampir di setiap pekerjaan saya selalu bersama beliau. Bukan saja karena saya membutuhkan bantuannya, tetapi juga karena asiknya saya mengobrol dengan beliau mengenai banyak hal di luar urusan pekerjaan. Sungguh banyak pelajaran dan makna kehidupan yang beliau ajarkan. Dan ini saya anggap lebih penting dari pelajaran mengenai bagaimana suatu pekerjaan Quality Control bisa selesai dengan baik. Di saat senggang ataupun saat mengidentifikasi masalah, kami sering berlama-lama untuk sekedar ngobrol ngalor ngidul. Tujuan saya untuk mengetahui pribadi Pak Hamzah jadi lebih mengasikkan. Ada beberapa hal di luar jalan kehidupannya yang membuat saya tertarik untuk mengetahuinya lebih lanjut. It’s a life philosophy, wisdom, and it’s magic…