Perjalanan Menarik Karawang-Bekasi-Depok (Edisi Kewirausahaan Sosial)

Sabtu dini hari saya berdua bersama Mas Oris bersiap2 untuk berangkat ke Depok dari Rengasdengklok Karawang. Dengan modal niat dan info rute, kami berangkat memakai motor dan dilanjutkan dengan naik kereta, Kami berencana mengikuti sebuah seminar kewirausahaan sosial di kampus psikologi UI yg dimulai jam 8.30. Alhamdulillah pas sampai stasiun kereta Karawang, kami berhasil mendapatkan 2 tiket terakhir yg tersedia. Mungkin jika telat 10 detik saja, kami tidak akan mendapatkan tiket itu dan entah bagaimana kami akan ke Depok. Dan sesuai prasangka, kami harus menunggu kereta yg telat datang beberapa saat. Meski weekend ternyata KRD ke arah Jakarta ini tetap penuh dan kami terpaksa harus berdiri dekat pintu keluar di samping toilet kereta yg bau pesing. Keterpaksaan ini juga akibat kami tak mau kelewatan turun di stasiun Bekasi.

Sesampainya di stasiun Bekasi, saya dengan bodohnya melangkah keluar dengan kaki kanan saat kereta masih berjalan pelan. Kaki saya terseret dan hampir saja terjatuh. Seketika teringat beberapa cerita orang yg meninggal akibat ‘salah kaki’ ini saat turun dari kendaraan yg masih berjalan. Ada yg meninggal akibat gegar otak dan ada yg meninggal karena langsung tergilas (GLEG!). Sesuai info rute yg diberikan, kami harus melanjutkan perjalanan menggunakan commuter line dari stasiun bekasi ke arah depok dan turun di stasiun UI. Karena pertama kali juga kami menaiki commuter line, kami agak kikuk ketika menggunakan kartu sebagai tiket masuk. First impression nya adalah commuter line ini cukup nyaman dengan boots yg menggantung di pegangan tangan kereta. Unik juga nih strategi promosi dari AP Boots, hehe…

Setelah melihat info rute commuter line, ternyata kami harus transit dulu di Manggarai untuk selanjutnya menaiki commuter line lain yg ke arah Depok. Sepanjang perjalanan, kami berdua asik ngobrol mengenai pengalaman Mas Oris membesarkan usaha franchise “Jarimatika” Bu Septi miliknya dan bagaimana pengalaman beliau di Jepang saat menaiki kereta. Meski terus berdiri semenjak naik KRD sampai commuter line dan tiba di stasiun UI, kami tetap menikmati perjalanan dengan mengobrol mengenai hal2 tersebut.

Setibanya di stasiun UI, kami bingung juga apakah kartu tiket harus dikembalikan atau tidak. Dengan jaimnya kami tidak bertanya dan hanya melihat penumpang lain yg keluar. Oh, ternyata setiap penumpang tetap memiliki kartu ini di tangannya. Pertanyaan selanjutnya yg ada di benak kami adalah apakah kami tak harus bayar lagi ketika nanti melakukan perjalanan pulang? Karena kami menganggap harga tiketnya terlalu mahal untuk sekali perjalanan, yakni 19 ribu untuk berdua, jika dibandingkan dengan KRD yg hanya 5 ribu berdua. Haha… so opportunist. Untuk menuju kampus psikologi UI, kami harus berjalan dan bertanya pada beberapa orang di sekitar. Kami melewati jurusan studi sastra Jepang, FISIP, dan kemudian sampai juga di psikologi. Mas Oris memikirkan potensi beliau membuka les bahasa Jepang sedangkan saya memikirkan betapa besarnya kampus UI ini dibandingkan kampus saya di Bandung dulu (maklum ga pernah studi banding kesini, hehe). Yg kompak kami pikirkan adalah banyaknya mobil yg diparkir di FISIP, apa karena banyak anak pejabat yg belajar ilmu politik yah? Hehe…

Sebelum sampai di auditorium psikologi UI, kami bertemu salah seorang peserta seminar lain yg sama2 kebingungan. Ternyata beliau undangan dari Dompet Dhuafa Volunteer, sebuah komunitas relawan pergerakan dari salah satu lembaga zakat di Indonesia. Tak dinyana ternyata kami bertiga menjadi peserta pertama yg hadir di seminar kewirausahaan sosial ini. Ruangan yg dingin membuat saya dan Mas Oris tak melepaskan jaket yg dikenakan sebelumnya. Dengan semangat dan percaya diri kami berdua duduk di kursi paling depan, yg nantinya sebaris dengan para pembicara di seminar ini. Sudah jadi kebiasaan mayoritas orang Indonesia, peserta lain malah memilih kursi yg lebih di belakang ataupun di pojok. Pengalaman semangat orang Jepang dari Mas Oris lah yg membuat kami berdua untuk memilih di kursi paling depan.

Sesi seminar berlangsung hingga pukul 12 siang yg diisi oleh ketiga pembicara utama, yaitu Pak Zulfikar Alimuddin dari Yayasan Semangat Membangun Indonesia Hebat (SMIH), Pak Professor Musa dari LPPM UKM IPB, dan Bang Zainal “Jayteroris” Abidin dari Socio Entrepreneur Academy Dompet Dhuafa. Setelah sesi seminar, acara dilanjutkan dengan break makan siang dan sholat dzuhur. Sesi kedua materi dilanjutkan dengan Focus Group Discussion yg dibagi menjadi 4 ruangan dengan 4 topik yg berbeda. Saya dan Mas Oris memilih ruangan yg berbeda agar kami mendapatkan 2 topik berbeda yg kami minati, meski kami harus tidak mengikuti pembagian ruangan yg dibuat panitia. Sori yak kami tidak mau ditempatkan di ruangan yg sama dengan topik yg tidak kami minati dan kami pikir aturan pembagian ini tidak sepenuhnya mengikat, hehe…

Sepanjang sesi seminar dan FGD, kami dengan PD-nya SKSD dengan para pembicara dan tokoh2 penting yg hadir di acara. Maklum, selain ingin mendapatkan ilmu yg bermanfaat, kami juga ingin memperluas networking kami di bidang kewirausahaan sosial. Ada praktisi, akademisi, provokator, relawan, komunitas, dan beberapa yayasan yg mengikuti acara ini dan bergerak di bidang ini. Dengan berbekal profil dari yayasan “Sadamekar” yg kami bawa, kami berkenalan dengan mereka dan sedikit memperkenalkan yayasan ini. Semoga saja di lain kesempatan kami bisa berkolaborasi dengan mereka dalam mengembangkan kewirausahaan sosial di Karawang dan di Indonesia.

Sesi FGD selesai pada pukul 4 sore dan dilanjutkan dengan sesi penutupan acara. Karena kami tidak mengharapkan doorprize, jadinya kami pun tidak mendapatkannya. Padahal mah sih pengen, tapi menurut mitos yg beredar klo ga berharap malah nantinya yg akan dapet, jadinya kami memilih untuk tidak berharap, haha… Setelah semua rangkaian acara selesai, kami bergegas kembali ke stasiun UI karena hari telah menjelang sore dan kami pun tak mengerti jadwal terakhir keberangkatan dari commuter line dan KRD. Pertanyaan kami mengenai kartu tiket pun terjawab : kami harus membayar lagi untuk perjalanan pulang, tetapi dengan harga 8 ribu berdua. Oh, ternyata kami harus membayar lebih mahal di awal untuk biaya jaminan kartu sebesar 5 ribu. Bodohnya kami adalah hal itu ternyata tertera di struk pembelian tiket -__-

Sempat nyasar ke arah Jakarta Kota, kami akhirnya sampai di stasiun Bekasi pada sekitar pukul 6 sore. Tragisnya adalah tiket KRD untuk keberangkatan jam 7 telah habis terjual dan kereta selanjutnya baru berangkat jam 9 malam (di jadwal, tak tau kenyataannya). Niat jahat kami muncul untuk kembali masuk ke stasiun menggunakan kartu tiket commuter line dan memaksa masuk ke KRD meski tak punya tiket. Ah, paling kena denda doang, pikir kami. Tapi setelah dipikir2 lagi, niat jahat itu kami urungkan. Kemudian prasangka buruk kami muncul ketika kami akan memilih untuk naik angkot dan elf ke Karawang karena pengalaman kami diturunkan in the middle of somewhere and must pay twice and the long time we must take because of “ngetem”. Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu KRD jam 9 malam saja sambil istirahat dan sholat maghrib dan isya.

Kami memutuskan untuk makan malam di sebuah warteg pinggiran. Ketika kami menyantap soto ayam, datanglah seorang bencong dengan pakaian aduhai menyanyi mendekati kami. Dengan sedikit menoleh untuk menolak memberi sumbangan, kami harus tetap menjaga selera makan kami. Waktu baru menunjukkan pukul 7.30 malam ketika kami bisa membeli tiket KRD untuk pulang. Itu artinya kami harus menunggu 1,5 jam plus+plus di stasiun. Huft, pekerjaan menunggu yg cukup berat sepertinya. Di saat menunggu itu kami habiskan dengan mengobrol mengenai beberapa hal. Mencuat suatu “hot topic” ketika seorang single berhadapan dengan seorang lelaki beristri satu beranak tiga. You know what I mean lah yah, haha…

Di selang pembicaraan seru itu, kami melihat bencong yg kami lihat di warteg berjalan di pinggir rel diikuti seorang pria. Prasangka buruk kami langsung mencuat, apa yg akan mereka lakukan dalam kegelapan? Niat kami untuk mengikuti mereka berdua akhirnya kami urungkan karena takut melihat sesuatu yg tak ingin kami bayangkan… Setelah beberapa saat, bencong tersebut kami lihat kembali ke stasiun dengan wig yg telah dilepas dan pakaian yg telah berganti. Ow…ow…ow… ga usah dipikirin lagi lah yah, mungkin dia memang sekedar menyelesaikan pekerjaan mengemisnya dengan mengganti kepribadian.

Sesuai yg kami perkirakan meski tidak eksak betul, 1,5 jam plus+plus menunggu itu berarti 2,5 jam. Setengah jam terakhir, perbincangan kami ditemani seorang supir truk yg baru pulang bekerja. Bapak beliau ternyata dulunya adalah seorang petugas PT. KA dan beliau pun menyatakan jika praktek KKN telah berlangsung lama di tubuh BUMN semacam ini. Sigh… kami hanya bisa geleng2 kepala mendengarkan sebuah rahasia umum tersebut. Setelah KRD tiba di stasiun, kami langsung bergegas masuk agar bisa duduk di kursi kereta. Maklum, stamina kami telah cukup terkuras dan kami pun cukup mengantuk. Mas Oris meminta ijin untuk tidur dan meminta saya untuk tetap bangun dan memeriksa sampai mana kereta telah berjalan. Maklum lagi, Mas Oris nantinya yg akan mengendarai motor dari stasiun Karawang sampai Rengasdengklok dan kereta hanya akan berhenti di stasiun Karawang dalam waktu singkat sebelum melanjutkan perjalanan ke arah cikampek. Buku “Sekolahnya Manusia” karya Munif Chatib yg saya bawa tak mampu saya baca dengan konsentrasi sehingga saya hanya memegangnya saja sambil mendengarkan musik penyemangat di earphone.

Pukul 11 malam kami sampai di stasiun Karawang. Daerah sekitar stasiun tersebut diisi beberapa warung remang2 A.K.A Lokalisasi yg cukup terkenal di daerah Karawang dengan sebutan “Se-er” A.K.A Sisi Rel. Cukup rame nampaknya sambil diiringi musik dangdut erotis. Tanpa pikir panjang, kami masuk ke… penitipan motor dan langsung bergegas menuju Rengasdengklok. Alhamdulillah, akhirnya kami sampai juga di kediaman Mas Oris, yg merangkap juga sebagai sekre komunitas IIP Karawang, dengan selamat pada pukul 12 malam. Cheers and Good Night!

Tinggalkan komentar